Suku Dayak Mualang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
|
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. |
Suku Dayak Mualang adalah salah satu sub suku Dayak Ibanic
yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang di Kalimantan
Barat, Indonesia, yaitu Kecamatan :
- Belitang Hilir, Sekadau
- Belitang, Sekadau
- Belitang Hulu, Sekadau
- Sepauk, Sintang dan sekitarnya.
Ciri Fisik
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
- Dayak Mongoloid
- Dayak Malayunoid
- Dayak Autrolo-Melanosoid
- Dayak Heteronoid
Salah satu ciri yang tampak pada orang Mualang adalah ciri fisik yang
mongoloid,
wajah bulat, kulit putih/kuning langsat, mata agak sipit, rambut lurus,
ada juga yang ikal serta relatif tidak tinggi, dan juga dikenal dengan
keramah-tamahannya, orang mualang sangat mudah membaur dengan sub suku
lain. Oleh karena itu, ada banyak sekali orang-orang dari pulau seberang
yang mencari nafkah didaerah mualang.contohnya orang-orang lokal/
tempatan / Dayak lainnya, kemudian dari pulau jawa, sumatera (Melayu,
Batak dll).
Bahasa
Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya
kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk
dan kelompok
Ibanic
lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat dengan
suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran kata i
dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian
inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan
huruf r ( R berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung
arti yang sama.
Legenda
Sekitar lebih dari 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat yang kini
disebut Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari
sebuah tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah,
yakni sebuah wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau
Kapuas, tepatnya di hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.
Urang Panggau
Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan
bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka
tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau ( kumpulan orang-orang
khayangan dan manusia ) kemudian kesemuanya itu disebut Urang Negeri
Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).
Tampun Juah
'Tampun Juah' merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak
yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah
masyarakat Pangau Banyau tersebar dan hidup di daerah sekitar bukit
kujau’ dan bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah
ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah,
dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada
yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah
persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan
mencapai zaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai
( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka
hidup aman, damai dan harmonis.
Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan
Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan
peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang
selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan
Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir,
yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada
pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang
terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan
di sungai.
Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian
terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki
bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh
seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada
Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.
Penggolongan Masyarakat
Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:
- Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya
berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja
- Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya
menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang
lain, atau bebas
- Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang
hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala
hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya
Temenggung
Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk
Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin –
pemimpin di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung,
tugasnya mengatur kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.
Kehidupan Ritual
Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan
kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah
sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat
Mengawang ( perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol
terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama
keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang
laki –laki dan pukat mengawan adalah celah – celah dari jala / pukat
yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus
celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita.
Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni: Tujuh
orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:
- Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
- Puyang Belawan
- Dara Genuk ( perempuan )
- Bejid manai
- Belang patung
- Belang pinggang
- Belang bau
- Dara kanta” ( perempuan )
- Putong Kempat ( perempuan )
- Bui Nasi ( awal mula adanya nasi)
- Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia
mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal.
Karena mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana,
ia di kubur dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang
dalam rupa yang menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna
suatu alasan maka ia mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah
dan hutan.( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat
dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.184 – 188 ). - Puyang Belawan
lahir secara normal seperti manusia biasa. - Dara Genuk lahir kerdil
atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek, oleh sebab itu ia di sebut
Dara genuk. - Bejid Manai lahir dan mempunyai sedikit kelainan pada
bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab itulah ia disebut
Bejid Manai. - Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan pada setiap
ruas tulangnya yang belang – belang, oleh sebab itu ia disebut Belang
Patung. - Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh
sebab itu ia disebut Belang Pinggang. - Belang Bau lahir dalam keadaan
belang dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau. - Dara
Kanta” lahir normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya,
oleh sebab itu ia disebut Dara Kanta”. - Putong Kempat lahir dalam
keadaan normal dan ia mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar
biasa tak terbayangkan, Upa Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia
disebut Putong Kempat. - Bui Nasi lahir dalam keadaan aneh, karena
lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan kelahiran inilah awal
mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang kerajaan Sintang
pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat
hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk
mengubahnya menjadi bibit padi.
Adat Istiadat Tampun Juah
Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma
–norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang
lebih baik hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur.
Demikian juga aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan
masyarakat diluarnya. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun
Juah semakin maju dan dikenal hingga datanglah masyarakat dari berbagai
kelompok lain yang bergabung dan berlindung serta mencari kehidupan yang
lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan kemakmuran di Tampun Juah,
telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal ini menyebabkan
penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk merebut
kejayaan di Tampun Juah.
Orang Buah Kana
Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama
seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya,
termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat
Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan
masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa
dan beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan
Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa
kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di
Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak
lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak
Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan
Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan
Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan
sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai (
sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas
sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk
sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun
Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan
gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di
Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang
yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini
pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya
sangat beracun diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).
Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama
karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan
memengaruhi bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun
Juah. Perang kedua tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara
masyarakat Pangau banyau, berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya
dari serangan mahluk halus, dan akhirnya dalam peperangan ini bangsa
setan dapat juga dikalahkan.
Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak
musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha
menggunakan segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka
memengaruhi bangsa binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang
ketiga akhirnya terjadi, sama halnya dengan peperangan terdahulunya,
bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena masih kurang puas maka
musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan menanam berbagai
jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Tampun Juah,
Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan, tetapi
keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan
lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada
perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang
menjadi bahasa keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok-
kelompok bahasa yang berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara
babel dalam perjanjian lama kitab suci umat kristiani ) walaupun masih
dimengerti / serumpun. ( Ibanic Group ).
Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini
merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide,
untuk mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk
merebut dan mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang,
melainkan dengan mengotori Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi
dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal
ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi mereka mengirimkan
sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan
sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena
terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang
lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan
lagi, menyebabkan gemparlah Tampun Juah.
Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan
permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil
pekat, (musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah
secara berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing –
masing temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok
(tunggul kayu) atau tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya,
agar diikuti oleh kelompok belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak
menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi
dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah.3 Setelah selesai
bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih
dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan, selanjutnya
kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah:
- Kelompok yang kini di sebut Dayak Batang Lupar / Iban, berangkat
menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang
Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok
Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan
sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan
membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup,
Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga
menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
- Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai
ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk
kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
- Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan
terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada
pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian
lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri
Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin
oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok
sabung / Letnan yang terkenal di zamannya bernama Mualang. Dalam
perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi
tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda (
lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir,
setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka
menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu
pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia
ditempat itu, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang
diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai
Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok
yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari
sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak
Mualang.4 Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai
Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan
menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang
dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke
segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai –
ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang
banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka
tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk
Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar
hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang
berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang
mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari
rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari
Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang
Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh
orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat
di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan
terdahulunya.
Penduduk Tanah Tabo'
Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong.
Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di
khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya)
menggunakan tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti
bamboo betung ) anak dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang
Panjang, yang kawin mali ( terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia (
bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara
Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi tempat ayahnya berada
yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka, menjadi berbagai
macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.5
Guyau Temenggung Budi
Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur
dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama
Dayak Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan
sebagian ke Sepauk, Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan
Pukat Mengawang lainnya juga menyebar mengikuti kehidupan masing –
masing dan ada yang membentuk kelompok suku – suku serumpun lainnya.
Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat Mengawang yaitu: Putong
Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung, pada masa
kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan
kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ).
Demikianlah urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.
[1]
- Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya yang bernama
- Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan
- Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan
- Abang Panjang, kawin, menurunkan
- Demong Karang kawin, menurunkan
- Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan
- Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan
- Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan
- Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385)
- Dara juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit (hindu).
Dayak Lebang Nado
Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan
bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini.
Keturunan tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender.
Sebagai bukti hantaran dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua
belas orang parinduk atau bukti hantaran, kemudian kedua belas orang ini
membentuk komunitas disekitar Bukit kelam dan lambat laun menjadi
komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari keturunan Dayak Mualang,
Melayu hindu dan Jawa hindu.
Mualang Tanjung
6 Rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang terpecah
membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok
lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya.
Sebagian bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam
usahanya mencari Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut
dipimpin oleh Singa Patih Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika
menyebar mencari daerah yang disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih
Bardat bercampur dengan Dayak Mualang, menurunkan suku -suku kecil
yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak Mualang Sekadau di daerah
Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang dikutuk melebur menjadi
batu karena sebuah peristiwa).
Patih Bangi
Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu
sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai
Dayak Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah
Belitang inilah yang banyak menurunkan Raja –Raja Sekadau, dan Raja
Belitang. Kerajaan kecil tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.
Kerajaan Sekadau
Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh
Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari
sungai Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah
pangeran Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :
- Pangeran Agong
- Pangeran Kadar
- Pangeran Senarong
Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, beliau digantikan oleh
Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan
Raja-Raja Belitang. Sedangkan Pangeran Agong memilih mengasingkan diri
beserta pengikutnya ke tempat yang kini disebut dengan Lawang Kuwari.
(Betang Panjang yang menghilang dan hingga kini tempat ini dianggap
keramat ).
Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar
Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau
mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan
dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau,
adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya
berangsur-angsur diikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian
menyebut dirinya dengan sebutan; Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk
agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin
pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu
didirikan sebuah Mesjid Besar.7
Daerah Penyebaran
Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang
kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja
Belitang. Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari
melewati hutan karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang
dibekalkan padanya yakni sebuah keris telah hilang.
Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di
hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut
dan membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris
pusaka kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan
terlepasnya ganggang keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari,
oleh sebab itu ia sangat ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri
sekalian berusaha mencari keris pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu
kapuas. Dara tersebut bernama Dayang Imbok Benang, keturunan kesekak
Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia ditemukan oleh Demong
Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri oleh Demong
Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang
anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda
bernama: Abang bari.
Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu mereka
yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia
di sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah
sungai Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal
maka sungai tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya
disebut daerah Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung
dengan keturunan ibunya, menjadi bagian dari masyarakat Mualang.
Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti ayahnya meneruskan pemerintahan
Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau ke Belitang untuk
meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.
Ratu Beringkak
Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau)
menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia
bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh
masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya)
dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai
Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga
tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu
masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang
Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang,
memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi
masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu
Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka.
Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang
sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak
Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan
dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang
datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau
tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap
Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.
Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang
– orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai
Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan,
dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai
Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang
melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu
pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang
tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya
Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari
Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena
Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda
Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya.
Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu
melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara
sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat
dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya
pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan
tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal
dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat
ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.
Lagu Daerah Dayak Mualang
Tarian Dayak Mualang
Tari Pingan Mualang / Tari Pireng Mualang, tersebar di belitang Ilek,
tengah dan hulu. Tari Pedang Mualang / ngajat bebunoh tersebar di
belitang Ilek ( merbang dan sekitarnya ) dan belitang Hulu ( sebetung
dan sekitarnya ). Ajat Temuai datai ( persembahan tamu yang datang /
penyambutan tamu / tari adat ), tersebar di belitang ilek, tengah, ulu
dan sekitarnya
Sanggar Seni
Sanggar Sengalang Burong ( provinsi kalbar, rumah betang Letjen
sutoyo ) Sanggar Sengalang Menenank ( di desa merbang, kec. belitang
Hilir, Kab sekadau ) Sanggar Ayak Menebing ( di Kecamatan Sui-Ayak, kab.
Sekadau )
kelompok Kerajinan
Tenun Kumpang Ilong, Kecamatan Belitang Hulu